Sore hari di kosanku, kosan campur cewek-cowok.


Sore itu adalah sore ke-12 di bulan Desember. Aku terdiam duduk – terdiam tertunduk di depan laptopku.

Tubuhku lemas, lesu, dan meringis dalam perut sambil merangkul komplotan cacing yang juga belum makan sama seperti diriku. Aku tiba-tiba merasa kasihan pada mereka kala itu.

Terdengar tetesan lembut hujan di luar sana. Aku bisa mendengar gelegar kilat sesekali menyambar. Di tengah renung-sedu suara hujan itu, aku masih bisa mendengar keroncong perutku dan nyanyian cacing di dalamnya.

Aku tetiba benci suara hujan. Begitupun kilatnya! Aku membencinya karena tak mampu meredam bunyi perut ini. Aku pun memutar lagu “The Rain Song” oleh Led Zeppelin, mengajak diri terhanyut dalam melodinya. Teduhnya lagu itu tak juga mampu menyelamatkanku dari kelaparan.

Aku tidak bisa menahan perasaan ini! Tidak!, tegasku terus-menerus dalam hati. Aku tidak tahan akan rasa lapar. Tidak dan tak mau berubah dari tidak.

Akhirnya jiwaku mengalah. Sembari mengambil ponsel tua nan rapuh yang senantiasa menemaniku, aku pun menuliskan untaian kata-kata indah dalam tampilan virtualnya, berisi:

“Bang Jack, pesan nasi ayam bakar DADA, es teh manis sama S*mpoerna Mild sebungkus ke kosan Walter. Makasih, bang!”

Deras hujan kala itu membuatku tak lagi ingat dengan serunya menonton tokoh Captain Jack Sparrow dan serial Pirates of the Caribbean, atau pun Jack Dawson dalam Titanic.

Satu-satunya Jack yang kuingat kala itu adalah Jack Samsul, pengantar pesanan Rumah Makan Padang langgananku.

Ia adalah pahlawan sejati dan pemikir sejati. Bagiku dialah aktor utama dalam cerita ini. Lupakan Jack Sparrow dan Jack Dawson, mari kita memfokuskan diri pada Jack Samsul dan kisah non-fiksinya ini.

Ia menjadi pahlawan bagiku karena rela mengantarkan pesananku di tengah derasnya hujan sore itu meskipun aku ngutang.

Ia kuanggap sebagai pemikir sejati karena celotehannya membuatku terinspirasi untuk menuliskan kisah ini. Kepadanyalah kupersembahkan tulisan ini :’)

Bang Jack Samsul sudah hapal betul di mana letak kosanku, di mana letak kamarku, dan di mana letak rokokku.

Iya, ketika dia berhasil menunaikan kewajibannya dalam mengantar pesanan ke kamarku, ia sudah tahu di mana letak rokokku. Jadi ia tinggal mengambilnya dan nyetok batangan rokokku secukup yang menurutnya cukup.

Sore itu setelah sekitar 10 menit aku mengajukan pesanan kepadanya, ia pun tiba. Pakaiannya basah, rambutnya basah, lidahnya juga basah meskipun aku ngga pernah tau kapan lidahnya kering.

Ia duduk sebentar di jalur keluar-masuk pintu kamarku, langsung mengambil kotak rokokku di tempat yang sudah biasa diketahuinya, membuka kotaknya. Ternyata kosong! Ia pun kecewa.

“Kok rokok lu habis sih, Ter?” protesnya kesal.

“Ya, makanya tadi aku pesan sekalian.”

“Oiya bener.” sadarnya. “Eh Ter, ini yang di sebelah kamar lu anak Unpa* juga?”

“Anak A*RI kayaknya, bang.”

“Napa ngga lu deketin?”

“Kalo cantik siapa yang ngga mau sih, bang? Masalahnya ya . . . . . .”

“Huss!! Cewek itu ngga perlu cantik, asalkan bisa dipegang!

Aku kemudian terdiam! Tiba-tiba saja terdiam. Lidahku tak mampu mengeluarkan kalimat balasan. Mataku terbuka tapi aku seakan tak melihat apapun, tetiba buta. Aku merasakan diriku menembus masuk ke dalam pikiranku. Aku berulang kali berusaha mencerna kalimat terakhirnya.

Aku kira kalimatku sebelum kalimat terakhirnya tadi, “Kalo cantik siapa yang ngga mau sih, bang? Masalahnya ya . . . . . .” sudah sangat jahat, merendahkan, hina halus, dan tak layak diucapkan oleh orang jelek sepertiku.

Tetapi, kalimat terakhir darinya benar-benar merubah pandanganku, terhadap apapun yang terkait dengannya.

Aku semakin merasuk ke dalam pikiranku sendiri, terjerembab lembab ke dalam Tsukuyomi Genjutsu-nya Uchiha Itachi dari serial Naruto. Seakan tak ada lagi jalan keluar dari pikiranku sendiri.

“Apa maksudnya ‘cewek itu ngga perlu cantik, asalkan bisa dipegang?’

Kuberanikan diri mengklarifikasi ucapannya.

Aku masih tak percaya mengapa bisa sang aktor yang kuanggap pahlawan ini dengan santainya mengeluarkan kalimat cabul, kalimat yang menampar sekaligus melecehkan ini?

Yang semakin membuatku tak percaya, mengapa Jack Samsul; ‘sekuntum’ pria polos, baik hati, dan orang yang ku’abang’kan ini (walaupun umur kami sama) mampu mengeluarkan kalimat seperti itu?

Ia kemudian menjawab,

“Yeeehhhhh, lu kebanyakan nonton b*k*p sih! Otak lu lembekin dikit!”

“Cewek itu ngga perlu cantik, asalkan bisa dipegang.”

“Yang dipegang dari si cewek itu ya omongannya, komitmennya, janji-janji manisnya, sama cintanya!”

“Lu ngga perlu megang yang lain kalo lu udah bisa megang empat hal itu dari dia.”

“Kalo pun lu belum bisa megang omongan sama komitmen sama janji sama cintanya, ya ngapai juga lu megang yang lain dari dia, toh dianya ngga bakal ikhlas ngasihnya ke elu.”

Penjelasan panjang lebar darinya pun menyadarkanku dari dugaan non-validku terhadapnya, menyadarkan cara pandangku terhadap ucapannya, dan menyadarkanku kalo rokokku yang masih terbungkus rapi yang baru dipesan sudah dipindahkan setengahnya ke kotak rokok yang udah kosong treus dimasukin ke kantongnya. Kampret si Jack!

Sore hari ke-12 itu tak akan kulupakan. Ia menjadi pahlawan sejati bagiku karena rela mengantarkan pesanan di tengah derasnya hujan meskipun aku ngutang.

Ia menjadi pemikir sejati bagiku karena ia mampu memikirkan ‘kalimat-kalimat ngeles‘ untuk lari dari ucapan cabulnya sendiri.

Jack Samsul, engkau favorit!


Baca Juga:

(Bukan) Dunia Lain di Fakultasku – Part 1

Similar Posts

5 Comments

  1. Nur Aini Amalia says:

    bang jacknya uwuwuuwuwww-able bgt, suami-able bingit kak 😀

  2. wah keren juga itu ngelesnya si jack samsul.
    haha
    jadi kalau udah bisa megang omongannya, komitmennya, janji-janji manisnya, sama cintanya. kita boleh megang yang lain gak? hehe

    1. hahaha kata bang jack samsul mending janganlah, karena menurut beliau cuma boleh pas udah nikah aja wkwkwk

  3. Ricky Tarigan says:

    hehehe…
    bang jack samsul always the best lah,walau intro nya agak porno bang. 😀

Comments are closed.