Cerita Rama Dan Keyza: Masa Lalu Tak Terlupakan – Part II lanjutan dari Part I. Silahkan klik disini untuk membaca bagian sebelumnya. Enjoy!
***
Sebelum tiba di kantin, aku bertemu dengan seseorang yang sepertinya sudah kutemui sebelumnya, dan ia menyapaku dengan nada yang mengejek.
“Halo kakak satpam!” sapanya dengan senyum riang nan menyebalkan. Indah kemudian pergi melewati kami dengan iringan tawa bersama teman-temannya tanpa menunggu balasan sapa dariku.
Doni melihatku dengan heran dan kemudian ikut tertawa.
“hahahaha, lu kenape dikatain satpam, Ram?”
“Gara-gara disetrap tadi. Gue berdiri di depan pintu dikatain satpam sama dia.”
“Itu kan si Indah, anak VIII-7. Lu kenal?”
“Kagak. Tadinya gue naksir tuh sama doi, gara-gara disetrap gue jadi malu banget PDKT sama dia, gue sendiri yang ilfeel jadinya. Pengen gue OSPEK-in lagi tuh orang.”
“Bagus lu ilfeel, soalnya dia udah punya cowok, si Jodi ketua OSIS itu lho.”
“Kampret. Pantesan aja dia berani ngatain seniornya.
“hahaha, udah ah, yuk kantin.”
Iya, pantasan aja si Indah berani ngatain aku satpam, pacarnya selain menyeramkan, ketua OSIS pula. Bisa-bisa band-ku ngga dikasih nampil di acara perpisahan nanti kalo macam-macam ke dia. Aku dan Doni pun melanjutkan perjalanan ke kantin.
Setelah memesan makanan dan mengambil tempat duduk, aku dan Doni sibuk menyantap makanan masing-masing. Aku mengabaikan obrolan Doni karena sibuk mencari-cari sang Sinta. Namun ia tak juga terlihat. Di tengah keramaian kantin itu aku memperhatikan satu per satu cewek yang banyak sekali jumlahnya. Dari depan, dari belakang, dari samping, semuanya kuperhatikan. Tak ada yang terlihat percis seperti cewek yang sebelumnya aku lihat ketika aku disetrap.
Bel masuk berbunyi, sial! Tak juga kutemukan dia.
***
“Lu tadi nyariin siapa sih?” bisik Doni di tengah pelajaran terakhir hari ini.
“Tadi pas gue disetrap, gue ngeliat cewek cakep banget. Mukanya rada jutek gitu tadi, mungkin lagi kesel.” kataku mendramatisir.
“Lu sotoy ato dia emang lagi kesel?” tanya Doni semakin penasaran.
Aku juga terbawa suasana dan semakin antusias menceritakannya, “Gue juga ngga tau dia kesel kenapa, tapi mukanya kaya lagi kesel gitu.”
“Mungkin dia kesel karena lu disetrap. Lu ingat mukanya ngga? Ntar pulang sekolah lu nongkrong aja di depan gerbang, gue temenin deh.” kali ini Doni yang mulai sotoy, tapi untungnya dia memfasilitasi ke-sotoy-annya itu dengan solusi.
“Wah iya bener juga lu.”
Obrolan berbisik kami harus dihentikan oleh siulan Kanta sang ketua kelas. Emang sih kami berisik meskipun cuma berbisik, untung aja ngga dimarahin Pak Marto.
Aku tak sabar menunggunya. Persetan dengan pelajaran Fisika ini, aku ngga ngerti sama sekali! Walaupun cita-citaku pengen kuliah jurusan Teknik Sipil, tapi ketika aku memikirkan cewek tadi aku ngga bisa mencampurnya dengan pelajaran Fisika hari ini. Pikiranku tentang cewek tadi tak boleh dinodai oleh apapun, terutama pelajaran ini.
Akhirnya ketidaksabaranku berbuah jeruk ketika kami semua mendengar bel pulang dibunyikan. Aku teriak tanpa suara, begitu juga dengan Doni dan seisi kelas. Karena Pak Marto tak suka dengan teriakan di kelasnya, bisa-bisa jam pelajaran ditambah olehnya. Bisa-bisa juga aku hilang kesempatan menunggui sang cewek misterius berwajah kesal itu.
Kami dengan sabarnya menunggu Pak Marto selesai menjelaskan pelajaran hari ini. Dan akhirnya ia tanpa suara menyusun tumpukan bukunya dan berjalan keluar kelas. Hingga ia tenggelam di dalam pintu itu, kami pun langsung membereskan peralatan belajar kami dan memasukkannya ke dalam tas.
Aku dan Doni melompati meja dan terburu-buru keluar. Kami berlari ke arah pintu gerbang sebelum siapapun mendahului kami. Guru Piket geleng-geleng melihat kami berlari terbirit-birit ke arah pintu keluar. Ketika kami sampai, kami pun mengambil posisi jongkok di ujung gerbang. Guru Piket itu menghentikan gelengan kepalanya, karena mungkin mengira kami seakan dikejar setan untuk pulang, padahal…..
Satu per satu anak sekolahan ini berjalan keluar melewati gerbang. Belum ada satu pun ciri-ciri yang kuingat ada pada mereka. Doni juga dengan tekun memperhatikan mereka setelah aku menjelaskan bagaimana ciri-ciri cewek itu. Teman sekelas dan teman beda kelas sesekali menyapa kami dan bertanya apa yang sedang kami lakukan. Kami dengan cuek dan kompaknya menjawab, “Nungguin masa depan.”
“Masa depan kok ditungguin, sedetik setelah ini juga udah masa depan kalee.” kata Randy, juara 2 umum sekolah ini. Pantesan dia juara 2, pikirannya agak ambigu, selalu double mikiran sesuatu, jadi angka 2 itu cocok banget untuknya.
“Iye ah bawel, cabut sana!” usir Doni dengan kejam. Randy pun nurut.
Beberapa menit kemudian, kami serempak melihat ke arah seorang cewek yang sama persis dengan ciri-ciri yang kujelaskan kepada Doni tadi. Ia berhenti tepat di sebelah meja piket sepertinya sedang menunggu jemputan. Ia sesekali mengobrol dengan guru piket. Cewek itu belum menyadari eksistensi kami di ujung gerbang itu. Kala itu ia mengikat rambutnya, tidak seperti sebelumnya membiarkan rambutnya tergerai. Aku masih ragu-ragu apakah benar cewek itu adalah cewek yang berwajah kesal yang sedang kami tunggui. Ternyata benar.
“Iya itu doi. Iya benar.” kataku mantap.
“Yuk, langsung ke sana.”
“Ntar dulu.”
“Ntar apaan? Cepetan, sebelum dia pulang.”
“Gue ngga seberani itu, nyet!” kataku gugup. Doni menepuk jidatnya, kemudian tanpa basa-basi lagi berdiri dan berjalan ke arah cewek itu.
Aku melihatnya menjumpai guru piket itu, dan terlihat seperti mengajaknya ngobrol. Sepertinya Doni menyampaikan berbagai pertanyaan kepada beliau, hingga akhirnya wajah guru itu tampak kesal dan membubarkan diri dari tempat itu, terutama dari pertanyaan Doni.
Doni pun tampak tertawa nakal sembari melihat ke arahku. Mungkin itu kodenya agar aku mendekatinya, pikirku. Aku pun berdiri, tapi berdiri diam di tempat. Sambil asik memperhatikan bagaimana Doni mengajak cewek itu berkenalan, tiba-tiba aku disapa oleh Indah dan Jodi yang sedang asik mengobrol dengan yang lain di belakangnya. Yahhhhhhh pasti dia mau ngatain lagi, kenapa di saat-saat seperti ini????
“Halo, kakak satpam. Sekarang pos jaganya pindah di pintu gerbang ya?” katanya dengan polos tapi tetap menyebalkan. Kampretlah!
“Kamu jangan ngatain mulu ih, ntar bola basket nyambar kepala kamu lagi lho.” seketika itu juga Indah terdiam malu kemudian buru-buru menarik tangan Jodi dan menyingkir dari hadapanku. Bagus!
Aku merasa keren setelah mengucapkan kalimat mematikan itu kepada Indah. Aku bahkan tak menyadari senyum puas dan lepas menghiasi wajahku. Dengan senyuman itu aku kemudian menoleh ke arah meja piket, ternyata Doni dan cewek itu juga melihat ke arahku. Doni terlihat menggaruk kepalanya, dan cewek itu kembali terlihat kesal.
Kenapa dia kesal terus sih?, pikirku saat itu. Cewek itu kemudian duduk di kursi piket sepeninggal guru piket tadi. Doni beberapa kali terlihat mengajaknya mengobrol, tetapi beberapa kali juga cewek itu mengabaikannya. Doni pun pamit kepadanya dan menarik lenganku untuk keluar dari gerbang. Kami pun pulang. Aku tau pasti setelah ini Doni bakal mengutukku, tapi aku belum tau alasannya kenapa.
“Mukanya kenapa kesal terus sih, Don?” tanyaku berusaha memastikan.
“Dia kesal karena lu ngobrol sama Indah.”
“Hah? Kalo gue ngobrol sama Indah emang kenapa? Lagian gue ngga ngobrol panjang kok sama Indah, dia ngatain ya gue balas sama sindiran.”
“Ya dia kan ngga tau obrolan kalian gituan doang. Jelasin ke dia jangan ke gue!”
“Gimana gue mau jelasin dianya kesel terus. Takut gue kalo mukanya kaya jeruk purut terus kaya gitu. Emang kenapa sih dia kesal kalo gue ngobrol sama Indah?”
“Indah itu banyak yang ngeceng di sekolah ini. Mungkin dia iri sama Indah, ato dia cemburu karena elu yang ngobrol sama Indah. Gue yakin dia suka sama elu.”
“Hah!? Seriusan lu, Don?”
“Gue yakinnya gitu sih. Lu pastiin sendirilah, gue kenalin deh besok. Janji gue.”
***
Besoknya ternyata Doni menepati janjinya. Doni mempertemukan aku dengan cewek itu di kantin.
“Hai, namaku Rama.” kataku memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangan.
“Aku Keyza.” katanya dengan lembut sambil membalas uluran tanganku. Sumpah cantik, manis, imut! Tapi sayang namanya Keyza bukan Sinta.
“Kamu kelas berapa?” tanyaku malu-malu (tai) kucing.
“Kelas IX-1.” jawabnya tulus.
“Wah pinter dong berarti. Aku kelas IX-4, walaupun kamu ngga nanya.”
“Ah engga kok biasa aja. Oh, kelas IX-4 ya? Sekelas Doni dong.”
“Iya, sebangku lagi.” sambung Doni di tengah kemalu-maluan kami.
Entah kenapa Doni punya insting hebat dalam hal pencomblangan. Dia meninggalkan kami dengan alasan untuk ke perpustakaan nyari buku sejarah. Sejak kapan si monyong satu itu bersedia menginjakkan kaki di perpustakaan? Baguslah, alasannya mantap meskipun kedengaran tak sedap di telingaku.
Sebelum benar-benar pergi, Doni berbisik, “tembak sekarang aja.” Spontan aku membalas bisikannya, “pistolnya mana?”. Hal-hal seperti itu sudah menjadi kebiasaan dalam obrolan kami berdua setiap hari di kelas, terbawa dengan ringannya tanpa disadari hingga ke momen genting seperti ini.
Doni memukul punggungku, “Goblok! Bilang lu suka dia trus tanya dia mau ngga jadi pacar lu. Jangan keliatan goblok di depan dia, goblok!” Dengan titah terakhir itu, Doni pun pergi dan aku dibiarkan sendiri melanjutkan perjuangan ini.
Setelah itu, aku melanjutkan obrolan dengan Keyza. Ternyata dia asik diajak ngobrol. Dia juga sabar menghadapi ketidakjelasan topik yang kuangkat dalam obrolan kami. Mulai dari kenapa pesawat terbang bisa terbang, kenapa TV ada gambar bergerak di dalamnya, kenapa hujan bisa turun kalo langit lagi mendung, kenapa Indonesia banyak pulaunya, dan sebagainya. Intinya Keyza sabar menghadapi obrolan tidak jelas itu.
Aku memang udah naksir sama dia sebelumnya. Tak perlu wak-wek-wak-wek lagi, aku pun langsung menggenggam kedua jari telunjuknya. Ngga tau kenapa harus jari telunjuknya yang kugenggam, mungkin karena terbiasa ngegandeng jari telunjuk mamaku waktu masih kecil dulu. Bedanya, kali ini jari telunjuk yang kugenggam ada dua sekaligus.
Aku bisa melihat ekspresi terkejut Keyza. Sekali lagi, tak perlu wak-wek-wak-wek lagi, aku pun berkata:
“Keyza, aku suka sama kamu. Kamu mau ngga jadi pacarku?” diriku kala itu tak secupu diriku selama ini, tapi tetep aja mukaku lucu.
“Kamu bukannya naksir sama Indah?”
“Ha? Kok gitu?”
“Soalnya kemaren aku ngeliat kamu ngobrol sama dia, dianya senyum-senyum gitu ke kamu.”
Oh, jadi emang bener muka dia kesal gara-gara ngeliat aku ngobrol sama Indah. Di satu sisi dia emang bener, aku kemaren suka sama Indah, tapi sekarang aku suka sama Keyza. Iya, bakat playboy-ku muncul sejak dini.
“Engga kok. Aku sukanya sama kamu. Makanya aku nembak kamu.”
“Kamu beneran suka sama aku?” tanyanya memastikan dengan ekspresi ceria.
“Iya dong.” jawabku mantap.
“Ya udah, aku mau jadi pacar kamu.” Di sebelahku duduk, Keyza memintaku untuk membuat ‘janji pacaran’ dengan jari kelingking. Aku pun menyodorkan jari kelingkingku, kemudian jari kelingking kami berpelukan tanda janji telah diresmikan.
Sesaat kemudian bel masuk berbunyi, pertanda bahwa aku dan Keyza resmi berpacaran. YES! Sesimpel ini ternyata nembak cewek, kenapa ngga dari dulu?, tanyaku. Maklum, kelas 3 SMP inilah aku pertama kali pacaran, dan dialah pacar pertamaku.
“Ya udah, sayang. Kita masuk kelas ya. ntar aku tunggu kamu di meja piket, kita pulang bareng.” katanya dengan riang. YES!!! Dia manggil aku sayang.
Kami berdua pun membubarkan diri menuju kelas masing-masing setelah melambaikan tangan.
Aku tiba duluan di kelas, beberapa menit kemudian Doni menyusul dari belakang sambil menenteng buku yang bertuliskan, ‘Sejarah Kemerdekaan Indonesia’.
“Lu tadi beneran ke perpustakaan?” tanyaku 100% heran dan tidak menyangka hal ini benar-benar terjadi.
“Iyalah, kan tadi udah gue bilang.”
“Kampret kaya elu?, ke perpustakaan?, tumben banget.”
“Kampret kaya gue juga butuh buku, Nyong. Kampret lu! Eh, gimana? Lu jadi nembak?”
“Jadi, diterima sama dia. Dia resmi jadi pacar gue, sob.” jawabku sambil tersenyum menjijikkan.
“Wah! Mantap banget!” seru Doni tak kalah girang denganku. “Berarti ntar pas pulang kita singgah bentar ke kafe, gue tagih pajak jadian lu!” lanjutnya.
“Sori, sob. Gue pulang bareng doi. Mungkin lain kali ya hehehehe . . .” kataku tertawa licik.
“Dasar kampret lu! Gue sumpahin lu ngga bakal lama sama dia.” sumpahnya dengan tegas. Aku hanya tertawa merespon sumpah itu.
***
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Secepat kilat aku merapikan buku dan melompati Doni untuk berlari ke luar kelas, tentu saja langsung menuju tempat janjian aku dan Keyza. Doni mengeluarkan sumpah serapah melihat aksiku. “Emang beneran kampret lu ya, gue sumpahin sekali lagi lu . . .” kalimatnya tidak selesai kudengar karena aku terlanjur sudah berjarak jauh darinya dengan kecepatan kilatku.
Sesampainya di meja piket, ternyata kilatnya Keyza lebih cepat daripada kilatku. Dia sampe lebih dulu di tempat itu.
“Kok cepat banget nyampe sini?” tanyaku dengan polos masih tak percaya dengan kecepatan kilatnya.
“Iya tadi ada kuis, siapa selesai boleh pulang. Ya udah aku buru-buru nyelesain kuisnya biar bisa cepet-cepet ketemu kamu. Yuk pulang.” Ia menjelaskan panjang x lebar x tinggi = luas dan langsung menggandeng tanganku.
Masa bodo dengan penjelasannya, yang penting sekarang kami lagi gandengan. Di sepanjang perjalanan pulang menuju simpang untuk menunggu angkot, kami banyak mengobrol tentang hal-hal asik hingga obrolan yang tidak jelas. Tiba di persimpangan tempat menunggu angkot, kami berdua berdiri sejajar. Di tengah teriknya matahari siang itu, aku curi-curi pandang. Emang bener sih dia cantik, banget. Bangga banget aku bisa macarin dia.
Tempat kami menunggu angkot mulai dipenuhi oleh orang-orang sesama penunggu angkot. Satu angkot datang, kebetulan masih sangat kosong. Semua orang yang ada di sini bersama kami buru-buru menaiki angkot itu. Aku mengajak Keyza naik dan duluan menaiki angkot itu. Aku mengambil tempat duduk paling pojok. Setelah aku duduk, aku mencari-cari Keyza di tengah kerumunan penumpang yang menaiki dan mulai memenuhi angkot itu.
Hingga angkot itu penuh, Keyza tak juga terlihat. Angkot pun jalan. Aku masih mencari-cari di mana Keyza berada. Setelah beberapa meter angkot bergerak, aku melihat Keyza tertinggal, masih berdiri di tempatnya berdiri tadi. Keyza ketinggalan! Aku pun berseru menyesal, “Yah! Yah!” sambil menjulurkan tangan berusaha meraihnya, padahal tanganku tak mungkin sampai untuk meraih tangannya.
Baca Juga: Review Buku Kamu Terlalu Banyak Bercanda Karya Marchella FP