Cerita seorang anonim yang sengaja dianonimkan

Selasa pagi jam 9 aku menemui dosen pembimbingku. Untungnya kali ini tak semenit pun aku terlambat, tak seperti sebelum-sebelumnya. Seperti biasa, sebelum benar-benar mengetuk pintu ruangannya, aku menguping dulu. Setelah memastikan kalo si bapak sedang tidak sibuk melayani tamu, aku pun mulai mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk.

Baca Juga: Catatan Sayang

“Selamat pagi, Bang!” sapaku dengan sangat sopan. Mungkin kalian bertanya-tanya, kenapa sapaan dengan ‘bang’ kepada seorang dosen itu aku bilang sangat sopan?

Begini. Di jurusanku, dosen dan mahasiswa/i-nya sangat dekat. Dosen pria kami sebut ‘Mas’ atau ‘Bang’ jika dia orang Batak, dan dosen wanita kami sapa dengan ‘Mbak’, semuanya begitu tak peduli mereka sudah tua atau masih muda. Sudah turun-temurun begitu. Aku juga ngga ngerti makna ‘kedekatan’-nya di mana.

“Selamat pagi, silahkan duduk.” persilahnya.

Inilah kali keempat aku menghadiri bimbingan dengannya dalam setahun ini. Aku lebih sering melarikan diri dari jadwal bimbingan karena terlalu suntuk mengerjakan skripsi.

Sebelum menemuinya, aku sudah mempersiapkan semuanya yang penting-penting, termasuk sudah melakukan berbagai revisi seperti yang diperintahkan beliau di pertemuan kami sebelumnya.

Kali ini rasa percaya diriku tinggi untuk menghadapnya. Aku sudah menginput semua data yang direkomendasikan beliau, dan memintaku untuk menunjukkan padanya.

Dua bab skripsiku telah disetujuinya untuk sementara itu, tak ada lagi celah yang harus diperbaiki untuk sementara. Outline bab 3 dan bab 4 yang kupersiapkan sudah disetujuinya, dan setelah ini tinggal kukerjakan aja semuanya.

Setelah sekitar satu jam menghadapnya, aku pun pamit, karena memang tak ada lagi yang benar-benar penting untuk didiskusikan. Aku pun keluar dari ruangannya dengan ekspresi puas. Benar-benar puas sekaligus lega.

Aku pun berjalan keluar dari gedung fakultas sambil menghidupkan rokok, sembari menyapa teman-teman lain di sepanjang perjalanan, aku berjalan ke arah pintu keluar.

Di persimpangan Gedung Rektorat dan Fakultas Hukum, aku menyapa temanku dan duduk di sebelahnya. Dia sedang mengobrol saat ia kusapa, dan aku pun membiarkannya sembari mengeluarkan headset dari kantongku dan mulai mendengarkan lagu.

Daripada pulang dan ngga tau mau ngapain di kosan, mending aku nongkrong bentar di kampus, pikirku saat itu. Lagipula hari Selasa seperti ini kampus pasti rame, apalagi kampusku terkenal dengan Neng Geulis-nya yang sangat banyak jumlahnya.

Lumayanlah nongkrong sambil cuci mata, sekalian cuci muka dan cuci kaki. Dan lagipula juga, saat ini mood-ku sangat baik, membuatku menjadi sangat riang, percaya diri, dan tentu saja jadi rada ‘gila’.

Sekitar jam 11.30, kampus benar-benar penuh. Kebetulan memang lagi ada acara Olimpiade versi kampusku, jadi tak ada alasan untuk tidak menyempatkan diri melihat-lihat sekeliling. Apalagi kudengar-dengar para junior cantik-cantik. Makin semangatlah aku melakukan aksi itu.

Langsung Memalingkan Tatapannya

Aku duduk di posisi yang enak untuk melihat. Persimpangan tempat aku nongkrong ini memang cocok sekali digunakan untuk perbuatan seperti yang kulakukan sekarang ini.

Nah, aku dengan seksama, sok ganteng, sok cuek, dan sok asik dengan headset-ku memperhatikan neng geulis yang melintasi persimpangan ini satu per satu.

Baca Juga: Cerita Rama dan Keyza: Masa Lalu Tak Terlupakan – Part I

Emang bener sih cantik-cantik, terlalu banyak yang cantik. Ya kalo kukalkulasikan, dari skala 1-10 cewek yang lewat, cuma 3 yang gagal, dan ngga ada yang gagal total. Aslilah.

Lagi sibuk memperhatikan para biduan yang lewat, temanku yang namanya Joni datang menghampiri. Karena ada dia, aku pun ngga enaklah nyuekin dia. Kucabut headset dari kedua kupingku.

Dia ngajak ngobrol dan kami pun ngobrol panjang x lebar x tinggi = luas tentang beragam hal sebelum seseorang mengganggu fokusku dari obrolan ini.

Ada cewek duduk di arah jam 1 pandanganku, sumpah cantik kali. Putih, lucu, dan yang bikin dia keliatan tambah cantik, ikatan rambutnya itu lho. Behhhh… Dari rentetan kalimat yang diucapkan Joni kepadaku, hanya “lu tau ngga kalo . . . ” dan “Kalo misalnya gue . . . ” yang kutangkap.

Maafkan aku Joni, tapi ngeliatan cewek itu jauh lebih penting daripada dengerin omong kosongku, kata iblis dalam diriku.

Bak terhipnonis, aku pun memberanikan diri menatapnya dalam-dalam. Joni belum sadar kalo aku udah ngga fokus lagi dengan obrolan ini. Responku cuma mengangguk, apapun yang dikatakannya, termasuk makiannya.

Cewek itu, sebut saja namanya Bunga, akhirnya membalas tatapanku. Itulah pertemuan pertama mataku dan matanya. Ia langsung memalingkan tatapannya sesaat setelah tatapan kami bertemu.

Ia tampak sedang asik dengan buku catatannya. Di sebelahnya terlihat ada seseorang, udah pasti temannya. Tampaknya mereka sedang menunggu kehadiran teman kelompok belajar mereka yang lainnya.

Dia duduk di seberang bangku tembok tempatku duduk. Kebetulan ia duduk paling pojok bersandar dengan sebuah fondasi bangku tembok itu, dan temannya itu duduk di sebelahnya.

Kutatap terus dia dalam-dalam, masih belum kembali fokus dengan omongan Joni. Karena tidak puas, aku pun mendekat.

Kebetulan di sejajar Bunga duduk, ada temanku juga yang nonkrong di situ, sedang asik merokok sambil ngopi. Aku pun duduk di sebelah temanku itu meninggalkan Joni di tempatnya.

Aku duduk bersandar di badan temanku itu tegak lurus menghadap si Bunga. Ketika Bunga ngobrol dengan teman yang duduk di sebelahnya, sudah pasti ia juga akan melihat aku.

Kuteruskan aksi tatap-menatap ini menunggu ia melihat ke arahku. Di tempat duduknya, Joni memanggilku untuk melanjutkan obrolan tertunda tadi. Kusuruh dia yang mendatangiku.

Sebelum Joni berjalan mendatangiku, Bunga udah menyadari kalo aku sedari tadi menatapnya dan terus menatapnya.

Beberapa kali tatapan mata kami beradu, beberapa kali itu juga Bunga memalingkan tatapannya. Raut wajah Bunga mulai kesal dan risih karena tatapanku tak henti-henti menghantamnya.

Joni pun mendekat dan berkata, “Ayuklah lanjutin obrolan yang tadi, lagi seru-serunya juga.”

Sambil tetap menatap Bunga, aku berkata dengan suara keras kepada Joni, “Kau ngga liat aku lagi sibuk?” Bunga mendengar kalimatku itu melihat ke arah kami. Bunga pun sudah pasti mengetahui aku lagi sibuk ngeliatin dia.

“Lu sibuk ngapain? Sibuk ngeliatin dia? Aiiihhhhh . .. . ” kata Joni sambil menunjuk Bunga sebelum kembali pergi ke tempat duduk tempat kami ngobrol tadi.

Raut wajah Bunga kali ini benar-benar kesal. Jelas sekali ia risih karena kutatap ia terus seperti orang kelaparan yang lagi ngeliat nasi rendang. Bunga pun mengambil headset dan menempelkannya di telinganya. Aku tertawa melihat Bunga.

Karena saat itu mood-ku lagi sangat bagus, lagi rada ‘gila’ juga, aku pun tetap berani dan percaya diri untuk terus menatapnya. Beberapa kali ia juga melihat ke arahku, namun seperti sebelumnya ia langsung memalingkan tatapannya.

Sekitar 5 menit kemudian, teman satu kelompoknya pun datang. Mau tidak mau Bunga melepaskan headset dari telinganya. Mereka bertiga pun mengobrol tentang tugas yang akan mereka diskusikan.

Di saat mereka bertiga ngobrol, aku pun memalingkan tatapan ke arah lain, ke arah gedung fakultasku, mencari-cari neng geulis lainnya. Dan catat, ketika itu juga aku mendengarkan lagu lewat headset.

Jadi kesan sok ganteng dan sok kerenku ketara sekali waktu itu. Karena tidak melihat neng geulis, aku pun kembali memalingkan tatapanku ke arah Bunga, dan ternyata mataku dan mata Bunga bertemu.

Aku yakin sebelumnya Bunga sedang melihat ke arahku karena ketika aku memalingkan tatapan ke arahnya, mata kami secara otomatis beradu.

Dan seperti biasa, Bunga langsung memalingkan tatapannya dariku. Mereka tak lagi sibuk mengobrol, dan kali ini mereka tampaknya mengerjakan tugas masing-masing yang sepertinya sudah mereka pisahkan bagian-bagiannya.

Melihat Bunga langsung memalingkan tatapannya, lagi, aku menundukkan kepala dan tertawa. Wajah Bunga tampak cantik sekaligus lucu saat itu.

Aku menghentikan tawaku, dan untuk memastikan apakah Bunga tadi benar-benar sedang melihatku saat aku melihat ke arah lain, aku pun kembali menatap ke arah lain. Semenit kemudian, kupalingkan kembali tatapanku ke arah Bunga.

Dan benar, sekali lagi Bunga ketauan sedang melihat ke arahku. Kali ini ia tak lagi langsung memalingkan tatapannya. Beberapa detik mata kami beradu.

Aku sempat tersenyum lepas karena ingat dengan raut wajah kesal Bunga karena risih ketika aku dan Joni membicarakan Bunga sambil menatap doi.

Ketika aku tersenyum di tengah-tengah tatapan kami yang saling membalas, Bunga pun ikut tersenyum, membalas senyumanku. Raut wajahku langsung terlihat serius.

Aku bingung namun bangga karena ia tersenyum membalas senyumanku. Ia pun mengembalikan tatapannya ke lembar demi lembar bahan tugas di pangkuannya.

Similar Posts